Untuk menjadi seorang antropolog terapan orang dituntut untuk berani melawan ideologi
arus utama (mainstream) dalam ilmu antropologi, yaitu ‘cultural relativism’ (relativisme kultural).
Selama ini antropologi secara umum telah berkembang menjadi sebuah disiplin ilmu yang dominan
bersifat basic science, yang tujuan utamanya adalah untuk mengembangkan teori dan konsep
antropologi. Antropologi adalah kajian tentang manusia dalam segala aspeknya. Mahasiswa
antropologi, khususnya antropologi sosiokultural, belajar tentang ‘budaya orang lain’ (other
cultures) dalam segala aspek kemanusiaannya agar dari hasil kajian tersebut mereka bisa bercermin
tentang siapa diri mereka (Kluckhohn 1949:11). Mereka belajar tentang point of view, tentang
weltanschauung, tentang belief, tentang cultural values dari bangsa lain, menurut sudut pandang
bangsa tersebut, agar mereka bisa memahami bangsa tersebut secara sesungguhnya, dan dengan
demikian mereka dapat berkomunikasi dengan bangsa tersebut, dan seterusnya dapat memperluas
dan mengembangkan wawasan wacana kemanusiaan (Geertz 1973:13–16).
Orang antropologi abstrak tidak menilai kultur dari suatu bangsa atau suku-bangsa menurut
tolok ukur kultur bangsa lain. Orang antropologi anti terhadap ethnocentrism (etnosentrisme).
Ini adalah sebuah dosa. Menurut relativisme kultural setiap bangsa mempunyai nilai dan keunikan
kultural sendiri. Dan itu harus dihargai. Suatu bangsa yang unggul dalam bidang ekonomi dan
militer, belum tentu secara spiritual, etika, sosial, dan politis juga sama sempurnanya (Shweder
2000:161).
Sebaliknya, dalam antropologi terapan orang harus berani mengambil posisi, menentukan
nilai. Client dari seorang antropolog terapan memerlukan saran-saran tentang kebijakan dan
rencana tindakan (action plan). Rekomendasi seperti itu tentu didasarkan atas pilihan nilai,
mana yang baik dan mana yang buruk. Orang antropologi tidak terbiasa dengan kerja seperti ini.
Ahli antropologi biasanya menolak untuk berkomitmen dengan nilai-nilai di luar metode keilmuan.
Bagi antropolog abstrak ‘...to offer advice is to identify oneself with social policy and hence to
compromise one’s scientific position,’ dan ini merendahkan status antropolog tersebut (Little
1963:363).
Jadi karena itu masuk ke bidang antropologi terapan adalah sebuah tantangan bagi mahasiswa
antropologi. Tantangan dari luar, yaitu dari para client yang mengharapkan rekomendasi kebijakan
yang penuh muatan nilai, dan tantangan dari kalangan dalam antropologi sendiri yang
mengharapkan pengembangan teori dan konsep tanpa muatan nilai kecuali nilai ilmiah. Dikatakan
oleh Rapoport, ‘To develop an understanding of this process of translating scientific knowledge
in a value-neutral framework into specific action implications is, therefore, a crucial
challenge arising in applied anthropology courses’ (Rapoport 1963:340–41).
Sejatinya antropologi terapan, lawan dari antropologi ilmu murni atau antropologi abstrak,
bukanlah satu hal yang baru dalam perkembangan ilmu antropologi. Bahkan bidang ini adalah
sama tuanya dengan ilmu antropologi itu sendiri, karena normalnya, seperti kata Compte, ‘science
is born of practical necessities’ (dikutip dalam Bastide 1973 [1971]:1). Sosiologi, misalnyalahir dan berkembang sebagai satu hasil dari krisis Eropa tahun 1789. Ketika itu filsafat sosial
gagal menyelesaikan berbagai masalah sosial yang dihadapi masyarakat Eropa, dan positivisme
memerlukan satu ilmu baru. Ilmu itu kemudian bernama sosiologi. Karena itu kelahiran antropologi
sebagai satu disiplin ilmu sekitar tahun 1870-an, lalu berkembang dengan pesat setelah tahun
1920-an, juga terdorong oleh keperluan praktis tertentu. Pertanyaan kita kini, apakah keperluan
praktis antropologi tersebut?
Karena antropologi adalah ilmu khas Orang Ero-Amerika tentang bangsa primitif terjajah
yang umumnya berada di luar Ero-Amerika (yang ketika itu dianggap sama dengan bangsa
barbar, bangsa kafir, pemuja berhala, bangsa liar, kotor, menjijikkan, tidak beradab, dsb.), maka
keperluan praktisnya tentu saja sesuai dengan sudut pandang keperluan Orang Ero-Amerika
pada masa itu. Keperluan praktis tersebut adalah mengemban beban bangsa kulit putih untuk
membawa bangsa primitif terjajah tersebut ke dunia beradab sebagaimana yang dinikmati Orang
Ero-Amerika pada masa itu, sambil tetap menjajah mereka (Bastide 1973 [1971]:11). Yang dimaksud
dengan peradaban dari sudut antropologi tentu saja sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat kulit putih Ero-Amerika pada masa itu. Jadi fungsi dari ilmu antropologi, secara kasar
bisa kita sebut seperti semacam Eropanisasi, mengeropakan budaya dunia, atau kini lebih dikenal
dengan istilah Westernisasi, sambil tetap mengambil keuntungan dari penjajahan atas bangsa
tersebut.
Dengan demikian, pandangan etnosentrisme, yang dibenci orang antropologi abstrak masa
kemudian, adalah bersumber dari tradisi awal ilmu antropolog itu sendiri. Antropologi lahir dari
keperluan praktis kolonialis dan dilandasi oleh pandangan Eropa sentris. Betapa pandangan
etnosentrisme dan kolonialisme ini menguasai penilaian dan persepsi ahli-ahli antropologi dalam
melihat objek studinya, bangsa primitif, sangat jelas tercermin dari ucapan antropolog tersohor
Inggris, Sir James Frazer, berikut ini. Ketika ditanya apakah beliau pernah melihat salah satu dari
bangsa primitif, yang budayanya telah ditulis oleh Frazer dalam berjilid-jilid bukunya, Frazer
menjawab dengan ketusnya, ‘God forbid’ (dalam bahasa Indonesia kira-kira berarti, ‘amit-amit,
jangan sampai kejadian’) (Beattie 1972 [1964]:7).