Senin, 03 September 2012

Padat penduduk daerah peladangan

Cara-cara bercocok tanam di ladang (swiden agriculture)merupakan suatu cara yang hanya bisa dilakukan di daerah yang penduduknya tidak padat dan di suatu wilayah yang tanahnya luas..penduduk di muka bumi ini yang bercocok tanam di ladang memilki angka kepadatan penduduk yang berbeda-beda.
ada beberapa faktor yang menentukan bisa tidaknya bercocok tanam di ladang di lakukan di suatu daerah.
faktor-faktor itu antara lain:

  • Curah hujan
  • Kwalitat tanah
  • Topografi bumi
  • Masyarakat
khususnya dalam kemasyarakatan di asia tenggara,tiap penduduk yang bercocok tanam di ladang sekitar 50 individu tiap kilometer persegi.
dan kalau kepadatan penduduk dalam suatu wilayah melebihi luas wilayah peladangan maka akan terjadi,ketegangan dan pertengkaran bahkan yang lebih buruk lagi,kualitas tanah akan berkurang yang merupakan akibat dari ladang itu ditanami kembali setelah ditanam dalam waktu yang singkat..
orang-orang yang memakai habis,hutan,tanah dan ladang biasanya disebut mengeurs de bois.
ada beberapa faktor lain yang menyebabkan berkurangnya kualitas tanah disebabkan oleh cara-cara hidup manusia setempat.contohnya:orang serawak yang begitu fokus pada desanya sehingga mereka bercocok tanam dekat desanya...

Selasa, 21 Agustus 2012

Bercocok tanam di ladang....

bercocok tanam di ladang adalah suatu cara bercocok tanam di daerah hutan rimba tropik,sabana tropik dan sub-tropik.tropik itu apa sih??tropik itu adalah suatu daerah di sepanjang garis khatulistiwa yang 23 derajat ke arah utara dan 23 derajat ke arah selatan.....
cara-cara untuk bercocok tanam di ladang(swiden agriculture):

  1. Suatu daerah Hutan/sabana dibersihkan dengan cara di tebang atau di bakar.
  2. Setelah dibersihkan,ladang itu kemudian ditanami sebanyak satu sampai tiga kali dalam kurun waktu 1-2 tahun.
  3. setelah ditanami,ladang tersebut kemudian dibiarkan hingga menjadi hutan kembali.
  4. setelah menjadi hutan kembali, tersebut kemudian di bersihkan seperti cara pertama.
dari zaman neolithik sampai sekarang,banyak penduduk di bumi yang masih bercocok tanam.meskipun bercocok tanam di belahan bumi ini kelihatan sama,tapi teknik bercocok tanamnya berbeda disebabkan oleh lingkungan alam yang berbeda,ada dua lingkungan alam yang berbeda:
  • daerah sabana(daerah padang rumput dengan belukar,banyak terdapat di benua afrika)
  • daerah hutan rimba tropik di daerah khatulistiwa.
bercocok tanam di ladang,di hutan rimba tropik di daerah khatulistiwa,banyak di lakukan oleh penduduk yang tinggal di daerah itu seperti:
  1. pantai guinea afrika barat.
  2. daeah sungai kongo afrika timur.
  3. asrilangka.
  4. asia tenggara.
  5. kepulauan indonesia.
  6. melanesia dan polinesia.
  7. amerika tengah,
  8. daerah sungai amazon di amerika selatan.
di indonesia,bercocok tanam itu amat penting,sama seperti negara-negara tetangga lainnya.meskipun pulau jawa sudah berganti bercocok tanam di sawah,banyah pulau-pulau di indonesia yang masih bercocok tanam di ladang..para ahli banyak yang melakukan penelitian di indonesia maupun di berbagai belahan dunia...

Selasa, 14 Agustus 2012

Di manakah manusia bercocok tanam pertama kali dilakukan

Asal mula bercocok tanam di lakukan pernah diteliti oleh seorang antropolog dari unisoviet yang bernama N.I. Vavilon,dam mereka menarik kesimpulan bahwa macam tanaman yang tersebar di seluruh muka bumi ini memiliki tempat asal yang khusus.kepandaian bercocok tanam tidak hanya dimiliki suatu manusia di satu daerah,tetapi di beberapa daerah lainnya di muka bumi.
berdasarkan metode penelitian etnobotany yang dilakukan oleh Vavilon.mereka mendapatkan hasil bahwa ada tujuh daerah yang merupakan awal manusia bercocok tanam,dan peneliti lain bernama G.P.Murdock menambahkan satu sehingga menjadi delapan..
delapan daerah itu ialah:

  1. Daerah sungai besar Asia tenggara,seperti sungai mekong serta beberapa sungai lainnya,dan menyebar ke kepulauan asia tenggara seperti:Indonesia,filipina dan beberapa pulau lainnya...Tanaman yang dihasilkan berupa,padi dan keladi..
  2. Daerah sungai asia timur(yangtse dan huangho)mengahsilkan tanaman:sayur-sayuran tionghoa,pohon murbei,teh dan kedele..
  3. Daerah asia barat daya,sungai-sungai di iraq menyebar ke iran dan afganistan.tanaman yang dihasilkan:buah-buahan eropa,gandum..
  4. Daerah laut tengah,mesir dan palestina serta lembah-lembah sungai italia dan spanyol.tanaman yang dihasilkan:buah ara dan buah zait
  5. Daerah afrika timur(absenia)menghasilkan tanaman:gandum eleusine
  6. daerah afrika barat(hulu sungai senegal)menghasilkan tanaman:gandum dan sorgum.
  7. Daerah meksiko selatan dan menyebar ke daerah-daerah utara meksiko(meksiko dan daerah sungai misisipi)Tanaman yang dihasilkan:jagung,kapas dan ubi
  8. Daerah peru di Amerika selatan,menghasilkan tanaman:kentang,ubi,cassava




Senin, 13 Agustus 2012

Asal mula bercocok Tanam

Bercocok tanam timbul sesudah berburu..mata pencarian berburu pada umumnya muncul sekitar,2.000.000 tahun yang lalu,dan mata pencarian bercocok tanam muncul sekitar 10.000 tahun yang lalu..bercocok tanam merupakan perkembangan kebudayaan manusia(revolusi kebudayaan).bercocok tanam tidak muncul secara tiba-tiba tapi dengan perlahan-lahan...ada beberapa teori yang dapat menjelaskan acas mula bercocok tanam.teori itu sebagai berikut:

  1. mempertahankan tumbuhan di suatu tempat tertentu dari serangan binatang.
  2. membersihkan tumbuhan tertentu dari rumput yang mengganggu..
dari kedua teori diatas dapat ditarik suatu kesimpulan tentang asal mula bercocok tanam.kedua pekerjaan diatas dapat di observasi oleh manusia dari biji-biji yang jatuh atau batang tumbuhan singkong yang jatuh dan tumbuh menjadi tunas baru.

masalah bercocok tanam tidak lepas dari masalah apa yang ditanam..




Senin, 04 Juni 2012

Etnosentrisme vs relativesme kultur

Untuk menjadi seorang antropolog terapan orang dituntut untuk berani melawan ideologi
arus utama (mainstream) dalam ilmu antropologi, yaitu ‘cultural relativism’ (relativisme kultural).
Selama ini antropologi secara umum telah berkembang menjadi sebuah disiplin ilmu yang dominan
bersifat basic science, yang tujuan utamanya adalah untuk mengembangkan teori dan konsep
antropologi. Antropologi adalah kajian tentang manusia dalam segala aspeknya. Mahasiswa
antropologi, khususnya antropologi sosiokultural, belajar tentang ‘budaya orang lain’ (other
cultures) dalam segala aspek kemanusiaannya agar dari hasil kajian tersebut mereka bisa bercermin
tentang siapa diri mereka (Kluckhohn 1949:11). Mereka belajar tentang point of view, tentang
weltanschauung, tentang belief, tentang cultural values dari bangsa lain, menurut sudut pandang
bangsa tersebut, agar mereka bisa memahami bangsa tersebut secara sesungguhnya, dan dengan
demikian mereka dapat berkomunikasi dengan bangsa tersebut, dan seterusnya dapat memperluas
dan mengembangkan wawasan wacana kemanusiaan (Geertz 1973:13–16).
Orang antropologi abstrak tidak menilai kultur dari suatu bangsa atau suku-bangsa menurut
tolok ukur kultur bangsa lain. Orang antropologi anti terhadap ethnocentrism (etnosentrisme).
Ini adalah sebuah dosa. Menurut relativisme kultural setiap bangsa mempunyai nilai dan keunikan
kultural sendiri. Dan itu harus dihargai. Suatu bangsa yang unggul dalam bidang ekonomi dan
militer, belum tentu secara spiritual, etika, sosial, dan politis juga sama sempurnanya (Shweder
2000:161).
Sebaliknya, dalam antropologi terapan orang harus berani mengambil posisi, menentukan
nilai. Client dari seorang antropolog terapan memerlukan saran-saran tentang kebijakan dan
rencana tindakan (action plan). Rekomendasi seperti itu tentu didasarkan atas pilihan nilai,
mana yang baik dan mana yang buruk. Orang antropologi tidak terbiasa dengan kerja seperti ini.
Ahli antropologi biasanya menolak untuk berkomitmen dengan nilai-nilai di luar metode keilmuan.
Bagi antropolog abstrak ‘...to offer advice is to identify oneself with social policy and hence to
compromise one’s scientific position,’ dan ini merendahkan status antropolog tersebut (Little
1963:363).
Jadi karena itu masuk ke bidang antropologi terapan adalah sebuah tantangan bagi mahasiswa
antropologi. Tantangan dari luar, yaitu dari para client yang mengharapkan rekomendasi kebijakan
yang penuh muatan nilai, dan tantangan dari kalangan dalam antropologi sendiri yang
mengharapkan pengembangan teori dan konsep tanpa muatan nilai kecuali nilai ilmiah. Dikatakan
oleh Rapoport, ‘To develop an understanding of this process of translating scientific knowledge
in a value-neutral framework into specific action implications is, therefore, a crucial
challenge arising in applied anthropology courses’ (Rapoport 1963:340–41).
Sejatinya antropologi terapan, lawan dari antropologi ilmu murni atau antropologi abstrak,
bukanlah satu hal yang baru dalam perkembangan ilmu antropologi. Bahkan bidang ini adalah
sama tuanya dengan ilmu antropologi itu sendiri, karena normalnya, seperti kata Compte, ‘science
is born of practical necessities’ (dikutip dalam Bastide 1973 [1971]:1). Sosiologi, misalnyalahir dan berkembang sebagai satu hasil dari krisis Eropa tahun 1789. Ketika itu filsafat sosial
gagal menyelesaikan berbagai masalah sosial yang dihadapi masyarakat Eropa, dan positivisme
memerlukan satu ilmu baru. Ilmu itu kemudian bernama sosiologi. Karena itu kelahiran antropologi
sebagai satu disiplin ilmu sekitar tahun 1870-an, lalu berkembang dengan pesat setelah tahun
1920-an, juga terdorong oleh keperluan praktis tertentu. Pertanyaan kita kini, apakah keperluan
praktis antropologi tersebut?
Karena antropologi adalah ilmu khas Orang Ero-Amerika tentang bangsa primitif terjajah
yang umumnya berada di luar Ero-Amerika (yang ketika itu dianggap sama dengan bangsa
barbar, bangsa kafir, pemuja berhala, bangsa liar, kotor, menjijikkan, tidak beradab, dsb.), maka
keperluan praktisnya tentu saja sesuai dengan sudut pandang keperluan Orang Ero-Amerika
pada masa itu. Keperluan praktis tersebut adalah mengemban beban bangsa kulit putih untuk
membawa bangsa primitif terjajah tersebut ke dunia beradab sebagaimana yang dinikmati Orang
Ero-Amerika pada masa itu, sambil tetap menjajah mereka (Bastide 1973 [1971]:11). Yang dimaksud
dengan peradaban dari sudut antropologi tentu saja sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat kulit putih Ero-Amerika pada masa itu. Jadi fungsi dari ilmu antropologi, secara kasar
bisa kita sebut seperti semacam Eropanisasi, mengeropakan budaya dunia, atau kini lebih dikenal
dengan istilah Westernisasi, sambil tetap mengambil keuntungan dari penjajahan atas bangsa
tersebut.
Dengan demikian, pandangan etnosentrisme, yang dibenci orang antropologi abstrak masa
kemudian, adalah bersumber dari tradisi awal ilmu antropolog itu sendiri. Antropologi lahir dari
keperluan praktis kolonialis dan dilandasi oleh pandangan Eropa sentris. Betapa pandangan
etnosentrisme dan kolonialisme ini menguasai penilaian dan persepsi ahli-ahli antropologi dalam
melihat objek studinya, bangsa primitif, sangat jelas tercermin dari ucapan antropolog tersohor
Inggris, Sir James Frazer, berikut ini. Ketika ditanya apakah beliau pernah melihat salah satu dari
bangsa primitif, yang budayanya telah ditulis oleh Frazer dalam berjilid-jilid bukunya, Frazer
menjawab dengan ketusnya, ‘God forbid’ (dalam bahasa Indonesia kira-kira berarti, ‘amit-amit,
jangan sampai kejadian’) (Beattie 1972 [1964]:7).